Resep Agar Optimis
Berikut ini sebuah
renungan: optimis itu memang perlu. Semoga bermanfaat. Hidup adalah
pencarian kebaikan, karena "Tuhan adalah sumber kebaikan yang
tersembunyi".
Diri kita ini tak pernah berguna jika tidak senantiasa mencari.
Mencari
adalah mengupayakan; mencari adalah memikirkan; mencari
adalahkemaslahatan; kemaslahatan adalah gerak: gerak adalah langkah yang
positif. Sebaliknya adalah kevakuman dan diam. Karena vakum dan diam
itu berarti netral dan tenggelam, berarti awal dari segala kemafsadahan.
Tidak
ada gerak tanpa semangat, yaitu ide dan pemikiran. Semangat juga
berarti ketulusan; dan tiada ketulusan tanpa akal fikiran. Makanya
tindakan orang gila itu netral (tidak bisa dihakimi), dan tindakan orang
waras adakalanya baik, adakalanya buruk. Bisa baik karena menggunakan
akalnya, dan buruk karena melampiaskan hawa nafsunya.
Yang pertama: akal fikiran -->ketulusan = ide dan pemikiran = semangat --> gerak, menuju ke kebaikan dan kemaslahatan.
Kebalikan dari itu: hawa nafsu --> kedengkian --> kepongahan --> kemafsadahan.
Orang diam itu tidak berdasar, makanya tenggelam, gara-gara
menganggurkan
akalnya. Statusnya hampir kayak orang gila. (Lain dengan orang
istirahat, karena istirahat, selama itu sesuai kebutuhan, adalah bagian
dari gerak). Patah semangat dan putus asa, lebih parah lagi, adalah
minus dan merupakan awal dari segala kemafsadahan.
Orang yg semangat tentu dia bahagia dan tentram. Semangat dan gerak
adalah
bukti dari adanya kebahagiaan dan ketentraman. Makanya Allah selalu
mengaitkan "pahala" --sebagai konsekuensi gerak-- (lahum ajruhum 'inda
rabbihim) dengan kemantapan-keberanian- ketidakkhawatiran (wa laa
khaufun 'alaihim) dan kebahagiaan/ketentraman/ketidaksedihan (wa laa hum
yahzanuun) dalam ayat al-Baqarah : 277.
Sebaliknya, putus asa adalah akibat dari kesedihan, dan kesedihan
mempunyai kaitan erat dengan kebodohan sebagaimana kebahagiaan dan ketentraman berjalinan dengan kecerdasan dan intelektualitas.
Itu semua adalah prinsip dasar manusia hidup. Adapun hasil, besar
kecilnya, itu tergantung proses kesungguhan dan keteledorannya. "Dan
orang-orang
yang bersungguh-sungguh mendekatiKU, pasti Aku tunjukkan jalannya"
(wall-ladziina jaahaduu fiinaa lanahdiyannahum subulana). (al-Ankabut:
69)
Prinsip seperti itu menunjukkan kedirian manusia. Kedirian
adalah totalitas ide dan pemikiran dari dalam diri sendiri. Kedirian itu
tidak identik dengan ketidakperdulian, kecuekkan, dan acuh tak acuh.
Karena kecuekan, acuh tak acuh, dan sebangsanya itu sebanding dengan
kebodohan, hampir setengah dari kesombongan. Kedirian adalah penyerapan
dan filterisasi informasi sehingga menyusun sebuah keutuhan ide dan
pemikiran. Walaupun ada beberapa tiruan/takliid tapi seakan-akan keluar
dari diri sendiri, karena telah difilter (dg akal, tentunya).
Pemikiran dan ide di sini berarti kemantapan (akan sebuah kebenaran).
Di
sinilah relevansinya sabda Rasul "fa idzaa 'azamta fatawakkal 'alaa
Allah" (jika kamu sudah mantap, bertawakkallah pada Allah) (Ali Imran:
159). Kemantapan di sini sebanding dengan kepengetahuan, keberanian, dan
ketegasan.
Ringkasnya, gerak-kemantapan-kebahagian itu harus saling terkait.
Kalau sudah bisa mengkaitkan ketiganya, baru boleh bertawakkal.
Semoga bermanfaat,