MENATA HARI ESOK by: malarieco cllucetia
Tak ada yang memisahkan antara hari ini dan esok kecuali waktu. Waktulah
yang menjadikan hidup ini tak ubahnya seperti jalan ramai satu arah.
Sekali tujuan terlewat, sulit untuk kembali. Saat itu, tak ada lagi yang
terlihat kecuali penyesalan.
Hari esok, bagaimana pun bentuk dan warnanya, pasti akan menjumpai kita.
Ia akan menjumpai kita apa adanya. Ada sebagian kita yang bergembira
kala itu, tapi tak sedikit yang berduka. Semoga Allah senantiasa
menganugerahi kita hari esok yang jauh lebih baik dari hari ini.
Keinginan menatap hari esok yang lebih baik tentu jadi impian tiap
orang. Dan itulah yang menunjukkan kalau gairah hidup seorang anak Adam
masih menggeliat. Selebihnya, ia sudah mati sebelum ajal kematiannya
telah benar-benar datang. Semangat hidup senantiasa menggiring bahwa
hari esok akan lebih baik dari hari ini.
Allah swt. tentu tidak menganugerahi hidup untuk disia-siakan. Kehidupan
begitu mahal buat seorang anak manusia. Karena, di situlah ia menanam
benih amalnya buat hari esok. Dan di situ pulalah ia menentukan seperti
apa nasibnya kelak di hari akhirat.
Esok buat seorang manusia mempunyai dua makna. Ada esok yang berarti
pergantian hari atau berlalunya perjalanan waktu. Ada juga esok yang
berarti dunia lain yang kelak akan dilalui siapa pun yang bernama
manusia. Itulah akhirat. Di situlah segala perbekalan dibuka,
diperlihatkan untuk kemudian diuji mutunya. Saat itu, tak ada kualitas
yang terlepas. Dan, tak ada cacat yang bisa terlewat. Semua begitu
rinci.
Menengok hari esok akan memberikan dampak kuat buat hari ini. Orang akan
berhati-hati menapaki hari ininya. Ia akan menyiasati sebaik mungkin
agar hari ini tidak berlalu sia-sia. Agar, hari ini tidak menjadikan
dirinya terjerumus di hari esok.
Seperti itulah yang mungkin ingin diajarkan Rasulullah saw. kepada
Abdullah bin Umar r.a. Ia berucap, “Pernah kami berpergian bersama
Rasulullah saw. Lalu, kami berhenti untuk membuat kemah. Di antara kami
ada yang memperbaiki kemah dan ada yang berlatih panah. Ada pula yang
menggembala ternak yang kami kendarai. Tiba-tiba, muazin Rasulullah saw.
berseru: mari kita salat berjamaah. Selepas salat, kami mendekat kepada
Rasulullah saw. Beliau bersabda, ‘Tidak satu nabi pun sebelum aku
melainkan ia berkewajiban menunjukkan kebaikan, dan memperingatkan
kejahatan kepada umatnya. Dan sesungguhnya bagi umat ini pada mulanya
ditentukan keselamatan, tetapi pada akhirnya banyak cobaan dengan
hal-hal yang tidak diingini. Kemudian datanglah fitnah-fitnah yang
sebelumnya dianggap ringan dibanding yang berikutnya.
‘Pada saat fitnah itu datang, orang yang beriman berkata, ‘Inilah yang
membinasakan aku.’ Kemudian hilanglah fitnah itu dan datang lagi.
Sehingga orang yang beriman berkata, ‘Inilah, inilah yang membinasakan
aku.’ Maka, siapa saja yang ingin dijauhkan dari neraka dan dimasukkan
surga, hendaklah meneguhkan keimanan kepada Allah dan hari akhir. Dan
memperlakukan sesama manusia sebagaimana ia senang diperlakukan seperti
itu. Siapa saja yang telah berbai’at (berjanji setia) kepada seorang
penguasa, serta telah menumpahkan kepercayaannya, ia harus mentaatinya
dengan sekuat tenaga. Apabila ada orang lain yang bermaksud merebut
kekuaasannya, maka penggallah leher orang itu.” (HR. Muslim)
Hari esok seperti yang diucapkan Rasulullah saw. kala itu, mungkin, sama
sekali tak pernah terpikir oleh Abdullah bin Umar. Sebuah keadaan yang
jauh dari kenyataan pada saat itu. Sulit menerima pandangan hari esok
seperti itu. Bagaimana mungkin generasi Islam bisa bertarung demi
kekuasaan. Tapi, itulah hari esok. Ia akan datang, suka atau tidak.
Justru, dari menengok hari esoklah, Abdullah bin Umar menjadi lebih
berhati-hati menapaki hari-harinya.
Ada dua hal yang bisa kita petik dari pelajaran Rasul tentang hari esok.
Pertama, ia merupakan buah dari usaha kita hari ini. Siapa yang
menanam, dia yang memanen. Hanya orang-orang aneh yang
mengangan-angankan kebaikan buat hari esoknya tanpa usaha optimal di
hari ini.
Dengan begitu, seorang manusia bisa mencetak apa dan bagaimana hari
esoknya dengan berusaha keras di hari ini. Kalau pun esoknya tidak
seperti yang diupayakan, kenyataan itu sama sekali bukan sesuatu yang
sia-sia. Karena kegagalan, sebagai hasil lain dari kesuksesan, akan
memberikan pelajaran yang terbaik. Dengan catatan, orang itu tidak lelah
menyiasati hari esoknya.
Allah swt. berfirman dalam surah Al-Ankabut ayat 69. “Dan orang-orang
yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami
tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah
benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.”
Kedua, ada kehendak lain yang jauh lebih kuat dari hitungan dan usaha
seorang manusia. Yaitu, kehendak Allah swt. Karena, Dialah yang paling
berhak menentukan apa yang terbaik buat hamba-hambaNya. Kecewa pada
keputusan Allah tak lebih dari memupus pencapaian hari esok yang jauh
lebih baik.
Pada sisi ini, seorang manusia bisa belajar bahwa ketentuan Allah pada
hari esok yang tidak sesuai dengan yang kita harapkan sama sekali tidak
menihilkan upaya dan usaha. Sekecil apa pun usaha itu. Karena Allah
tidak hanya melihat hasil, tapi juga proses. Dan di situlah ujian Allah
berlangsung. Jika Allah mencintai seorang hamba, Ia mengujinya.
Selain itu, keputusan Allah punya makna lain. Di antaranya adalah
ungkapan sayang Allah pada orang itu. Seolah keputusan itu mengatakan,
alangkah sia-sianya sebuah usaha besar dengan tanpa penyertaan Allah.
Kadang, keberhasilan yang terus-menerus bisa melambungkan kesombongan.
Dan itu sama sekali tidak diinginkan Allah swt. Istighfar seorang anak
manusia sangat berharga di sisi Allah dari benda mahal apa pun di dunia
ini.
Sukses dan gagalnya hari esok merupakan ketentuan tersendiri di sisi
Allah. Ketentuan itu merupakan pergiliran buat seluruh manusia. Siapa
pun, mukmin atau kafir. Tinggal, bagaimana kejelian menangkap
peluang-peluang yang Allah hamparkan. “….Dan masa (kejayaan dan
kehancuran) itu, Kami pergilirkan di antara manusia (agar mereka
mendapat pelajaran); dan supaya Allah membedakan orang-orang yang
beriman (dengan orang-orang kafir)….” (QS. Ali Imran: 140)
Dengan begitu, kitalah yang paling berhak menentukan seperti apa warna
hari esok kita. Putih, hitam, atau abu-abukah. Pilihlah warna itu pada
saat ini. Karena penyesalan biasanya datang belakangan.